MENANTANG PLURALISME MUHAMMAD

Suatu hari Muhammad sang Nabi menemui Ali, sepupunya. Dengan lirih ia berkata, “Allah telah memerintahkan agar aku memberi peringatan kepada keluargaku, kaum kerabatku. Tugas ini sangat berat bagiku. Meski demikian, siapkan makanan dari daging domba dan isilah gelas dengan susu. Lalu kumpulkan orang-orang bani ‘Abd al-Muththalib agar aku dapat menyampaikan kepada mereka apa yang telah diperintahkan kepadaku”.

Meskipun ini bukanlah perintah Allah yang pertama, yang pernah sampai membuat Nabi menggigil, Ali sama sekali tidak tergoda untuk menanyakan mengapa perintah Allah kali ini masih saja dianggap berat. Ali tahu betul bagaimana kerumitan yang dihadapi sepupunya, karena ia juga termasuk bani ‘Abd al-Muththalib. ‘Abd al-Muththalib, kakeknya, merupakan individu pewaris resmi sumber air suci zam-zam . Tidak ada yang memiliki keistimawaan semacam ini, bahkan bangsa Quraisy secara kolektif sekalipun. Oleh sebab itu, kesepuluh anak Abd al-Muththalib, yakni: al-Harist, al-Zubair, Abu Thalib, Abu Lahab, ‘Abd Allah, al-Abbas, dan enam orang putri; memiliki kelas sosial yang sangat tinggi di Arab. Ali juga lebih memahami situasi Muhammad karena semenjak ibu Muhammad meninggal (yang didahului meninggalnya ‘Abd Allah, ayahnya), Muhammad diasuh oleh ayah Ali, Abu Thalib. Mereka berdua dididik dalam tradisi elit suku Quraisy yang sangat toleran.

Sejak derajat sosial sebagai pemilik wewenang penuh atas kebutuhan para jama’ah haji, sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai “tetangga Tuhan, penjaga rumah-Nya dan tanah suci”, maka tidak ada alasan bagi suku Quraisy untuk merasa iri pada siapapun. Mereka sadar bahwa mereka berada di pusat dunia dan di tengah mereka terdapat sebuah magnet yang menarik para jamaah haji dari seluruh penjuru. Hal ini yang membuat mereka tidak pernah berpikir untuk merusak hubungan baik dengan siapapun, baik diantara mereka sendiri maupun denga suku yang lain.

Keluarga ‘Abd al-Muthalib sebagai tuan rumah jama’ah haji menyadari bahwa mereka harus menjadi tuan rumah yang baik bagi seluruh jama’ah. Para jama’ah harus dibuat merasa bahwa Mekkah adalah rumah mereka. Di Makkah mereka biasa disambut dan dihargai bersama keyakinan apapun yang mereka bawa, termasuk berhala-berhala mereka. Suku Quraisy akan bijaksana memahami hal ini sebagai bagian dari tradisi. Meskipun bagi keluarga ‘Abd Muththalib keyakinan mereka pada ajaran Ibrahim dan menyembah Tuhan Allah merupakan suatu prinsip. Akan tetapi, bagi keluarga ‘Abd Muththalib dan sebagian besar masyarakat suku Quraisy menghormati tradisi adalah keniscayaan kultural.

Kerumitan Muhammad pertama-tama datang dari kenyataan bahwa keyakinan keluarganya meyakini Tuhan Allah sembari menghormati tradisi adalah sesuatu yang sangat wajar dan bahkan sangat baik. Oleh sebab itu, Muhammad berusaha keras agar setiap cara berdakwah tidak mengakibatkan kekacauan pada situasi harmonis yang telah ada. Itulah sebabnya, ia memilih berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi pada awalnya.

Muhammad bahkan sampai menangis untuk meyakinkan paman-pamannya bahwa tidak benar ajaran Islam yang diperintahkan kepadanya adalah ajaran yang merusak hubungan baik persaudaraan, merusak tradisi, dan mungkin juga menipu. Tangis Muhammad bukan karena ia kalah argument, akan tetapi karena Muhammad sangat takut menyakiti keluarganya dan sangat khawatir kalau rasa hormatnya pudar. Jika diijinkan, pasti ia akan memilih untuk terus melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi saja.

Kerumitan selanjutnya, datang dari sifat ajaran Islam yang sangat “baru”. Ajaran Muhammad kemungkinan besar sangat mudah diterima oleh keluarganya dan sebagian besar suku Quraisy, mengingat kemampuan mereka menerima perbedaan. Abu Thalib bahkan secara nyata mempersilahkan kedua putra kandungnya, Ali dan Ja’far, mengikuti ajaran Muhammad. Sedangkan, untuk dirinya sendiri ia memilih untuk membenarkan semuanya. Di sisi lain, Abu Lahab sangat tegas menyatakan kalau ajaran Muhammad berpotensi menimbulkan perpecahan. Ia sangat nyaman dengan segala kebaikan budaya Arab yang memberi kebebasan bagi bangsa Quraisy untuk menentukan bentuk toleransinya. Baginya, ajaran Muhammad bisa-bisa mengubah prestisius ini, atau bahkan menghilangkannya.

Apa sebenarnya yang baru dari ajaran Muhammad? Dari wahyu yang diterimanya, Muhammad harus menyampaikan bahwa ada dua hal yang perlu dilengkapi dari ajaran Ibrahim: bahwa agama harus dibangun dari penyucian ritual dan sholat. Islam diajarkan Muhammad sebagai agama yang menegaskan bahwa ritual yang selama ini dipraktekkan dalam kultur Arab mengalami pengaburan makna ibadah. Ka’bah menjadi kabur esensinya sebagai tempat komunikasi manusia dengan Allah yang tak berwujud, ketika pada saat yang sama orang juga mengakui esensi berhala-berhala sebagai mediasi sumber kekuatan yang setara dengan Tuhan. Tidak mungkin ada dua keimanan yang bisa dilakukan secara bersamaan. Hal itu justru akan mengajari manusia menjadi mahluk yang berkeyakinan ganda dan tidak konsisten. Penyucian ritual yang dimaksudkan dalam ajaran Islam adalah menata ritual sesuai dengan konteksnya.

Inilah posisi Muhammad yang paling rumit. Sebagai bagian dari suku Quraisy, ia harus mengakui konteks ritual berhala. Akan tetapi, sebagai penyeru wahyu Allah, ia harus mengatakan bahwa tidak bisa lagi ritual keimanan dilakukan secara bersamaan. Hal inilah yang membuatnya rentan dituduh menghasut orang untuk menjauhi ajaran nenek moyang dan menghancurkan tradisi toleransi bangsanya. Tidak mudah meyakinkan suku Quraisy, terutama keluarganya, bahwa Islam hanya menawarkan tambahan satu “metode” baru memaknai keimanan. Apalagi, ketika rumusan metodologis Islam yang diserukan Muhammad telah sampai pada tingkatan teknis, yakni sholat.

Secara nyata, Muhammad menunjuk cara beribadah ritual Islam par excellence (baca: bentuk ibadah yang hanya dimiliki oleh Islam). Ini bentuk eksklusivisme ritual yang tidak dibudayakan di Mekkah. Ibadah haji saja sudah mengalami akulturasi budaya dengan para penyembah berhala, dan selama ini sah-sah saja. Lebih jauh, Islam bahkan merumuskan transendensi ketuhanan dengan menyatakan konsep hari kiamat atau hari pembalasan. Konsep ini sangat tidak familiar bagi masyarakat Arab yang tidak memiliki konsep khusus tentang hidup sesudah mati.

Semua kebaruan ini dijelaskan Muhammad dalam konteksnya sebagai Nabi, dan Islam sebagai penyempurna ajaran tentang keyakinan pada Allah. Pada posisi inilah Islam yang dibawa Muhammad ternyata menjadi ujian bagi konsep toleransi suku Quraisy dan keluarganya. Pluralisme yang telah diyakini oleh bangsanya, ternyata tidak mampu menciptakan peluang untuk gagasan baru, terutama yang dirasa akan mengancam eksistensi sebuah tradisi.

Saya ingin mengajak saudara sekalian meposisikan diri sebagai bagian dari suku Quraisy, dan kemudian memposisikan diri sebagai Muhammad. Anda bisa merasakan besarnya kekuatan tradisi yang dimiliki suku Quraisy yang telah menjamin keharmonisan dalam hidup mereka, akan tetapi mudah sekali dipanikkan dengan hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Mungkin ini bisa disamakan dengan kepanikan tradisi menghadapi modernisasi.

Saya tidak sedang mengajak anda untuk memutuskan mana yang benar diantara keduanya, sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengajak untuk melihat bagaimana sebuah konsep yang kompleks seperti “pluralisme” tidak hanya berurusan dengan soal menghargai perbedaan. Kedewasaan pluralisme justru terletak pada kemampuan mental yang tidak mudah panik dengan segala perubahan, seekstrim apapun. Semua perbedaan memiliki logika konteksnya masing-masing yang bisa dibaca dan dipahami, agar kita bisa mengambil sikap.

Ajaran Islam Muhammad saat ini telah diterima banyak orang dan memiliki banyak penganut seperti sekarang. Posisi bisa jadi telah berubah. Mampukah Islam Muhammad menciptakan peluang untuk gagasan baru tanpa kepanikan negatif seperti saat Muhammad menyampaikan Islam dulu?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar